Senin, 28 Januari 2013

Biola dalam Gerilya


Perang Merebut Kemerdekaan
Seorang tentara muda terlihat di tengah medan peperangan. Gagah berani melawan musuh yang menyergap. Sigap melindungi kawannya yang terluka. Tegas dalam menerangkan siasat kepada anak buahnya, agar dapat memenangkan pertempuran. Ekor matanya selalu mengawasi pergerakan musuh diantara rimbunnya hutan. Sayang, Ia terlambat menyadari seorang tentara musuh telah berdiri tepat dibelakangnya. Dor! Suara tembakan kembali memecah keheningan malam yang beranjak subuh. Ia mengerang, tetapi tak lama kemudian tersenyum. Meresapi setiap rasa sakit akan peluru yang telah bersarang di kakinya. Ia tak gentar, dan tak akan pernah gentar. Ia menembaki pemilik dari peluru yang mengenai kakinya itu. Ia tetap maju di medan perang dengan berjalan sedikit terseok namun pasti. Ia bahkan tak memberikan kesempatan kepada tentara musuh sampai berani mengarahkan moncong senapan ke arahnya. Satu-persatu tentara musuh tumbang, menyisakan seorang lagi tepat di depan tentara muda itu. Sedari tadi Ia telah membidiknya. Matanya terpejam sembari menarik pelatuk senapan. “Merdeka!” Desahnya membuat semesta alam seakan meng-amin-kan.  
Sekarang aku dapat melihat sosoknya dengan jelas dari tempatku bersembunyi. Tentara itu berbadan tinggi tegap tanda ketegasannya. Mata birunya menatap tajam meng-isyaratkan kecerdasan. Kulit putihnya bersemu merah tertimpa mentari pagi yang baru bangkit dari pembaringannya. Peluh dan coreng-moreng tak menghapus ketampanannya. Mungkin aku akan mengira Ia adalah tentara Belanda jika tak melihat bendera merah putih di lengan kirinya, karena Ia terlihat seperti londo. Aku melihat sebuah kotak hitam yang digendongnya. Tidak terlalu besar. Mungkin itu adalah kotak senjata atau amunisi.
Matahari mulai naik. Tak bosan-bosan Ia melintasi jalurnya yang sama entah sejak dari kapan. Ia juga tak pernah membangkang, selalu patuh mengikuti perintah Tuhannya dengan terus menerangi bumi sampai terompet sangkakala ditiupkan. Cahayanya malu-malu menerobos rimbuhannya pepohonan. Berseri-seri menyinari satu kompi tentara Indonesia yang sedang beristirahat dalam gerilyanya. Penduduk hutan seakan ikut bahagia akan kemenangan tentara Indonesia dengan mendendangkan nyanyian alam. Sungguh berbeda suasananya dibandingkan malam mencekam ketika pertempuran berlangsung.
Tentara muda itu menjauh dari prajurit yang lain. Ia telah membersihkan dan membebat luka tembak di kakinya. Dan kemudian dengan perlahan Ia membuka kotak hitam yang tidak pernah lepas dari punggungnya. Aku menahan napas. Mungkinkah itu adalah senapan yang sangat hebat mengingat Ia juga prajurit yang hebat?
   Isi kotak itu sempurna sudah berada di tangan tentara muda itu. Jauh dari perkiraanku, isi kotak itu adalah sebuah biola. Dengan perlahan Ia meletakkan biola itu di bahu, bersiap memainkannya. Aku menahan napas kembali.
Nyanyian kehidupan seolah hadir dalam gesekan biolanya. Tenang, indah, dan menyayat hati. Teman-teman prajuritnya serentak duduk mengelilingi dia. Seolah terhipnotis akan permainannya yang memukau. Begitu pula aku yang duduk  menunduk di tempat persembunyianku.
Beberapa saat kemudian Ia selesai memainkan sebuah lagu. Kemudian Ia letakkan kembali biola itu dalam kotak hitamnya. Teman-temannya kembali mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya terabaikan demi mendengar tentara muda itu bermain biola. Aku termenung. Untuk apa dia membawa biola ke medan gerilya? Bukankah sebuah senapan saja sudah berat, tetapi Ia malah membawa biola. Apakah sebuah biola dapat berguna di medan perang seperti ini? Sekilas aku melihatnya sedang memandang ke arahku. Kami bertemu pandang. Aku dapat melihat nama yang tersemat di bajunya. Ahmad Syam.

            “Kamu tau alasan Bapak membawa biola dalam gerilya?” Pertanyaan Pak Syam membuatku tersadar dari lamunan. Aku cuma bisa menggeleng. Penasaran akan jawaban yang akan diberikan beliau.          
“Bapak waktu berpikir jika Bapak membawa biola bisa menghibur teman-teman. Jika sedang beristirahat pasti Bapak bermain biola di tengah-tengah yang lain. Kadang sedang asik bermain tentara musuh datang menyerbu. Buru-buru memasukkan biola ke kotaknya dan langsung siap bertempur lagi.” Kenang Pak Syam sambil tersenyum. Aku mencoba membayangkan adegan itu. Sontak bulu kudukku meremang. Membayangkan Pak Syam muda yang gagah berani membela Negara demi kemerdekaan Indonesia. Demi kemerdekaan anak cucu seperti yang dapat aku kecap saat ini.
“Kamu harus bersyukur bisa bermain biola dalam kebebasan, dapat belajar tanpa takut ada penjajah yang mengintai. Tak seperti bapak yang harus bergerilya diantara hutan belantara.” Pak Syam terkekeh dan seperti biasa aku hanya dapat tersenyum.
Meskipun beliau dulu adalah tentara yang hebat, sampai sekarang pun beliau tetap mengabdi kepada nusa dan bangsa dengan cara yang lain. Di umur beliau yang hampir 90 tahun, beliau mengajar. Semangatnya untuk membawa kami kepada kemerdekaan tetap berkobar. Kemerdekaan atas kebodohan.
Terkadang aku melihat sorot matanya meredup ketika memandang Indonesia kini. Perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan seakan tak berarti di tengah carut-marutnya Indonesia. Aku tak bisa membayangkan apa yang ada dipikirannya sekarang.
“Indonesia telah merdeka dari penjajahan. Itu berarti tugas Bapak sebagai pejuang kemerdekaan telah selesai. Sekarang tugas Bapak adalah mendidik kamu agar bisa menjadi pejuang juga. Pejuang yang akan mebebaskan Indonesia dari korupsi, kesewenang-wenangan penguasa, kemisikinan, dan banyak lagi. Semuanya ada di tangan generasi penerus seperti kamu ini. Bapak yakin Indonesia dapat merdeka lagi.” Beliau memberikan nasihat kepadaku sambil tersenyum. Aku mengangguk dan kemudian menundukkan wajah. Tak kuasa menahan butiran bening yang satu-persatu jatuh dari pelupuk mataku.

0 komentar:

Posting Komentar