Perang Merebut Kemerdekaan
Seorang
tentara muda terlihat di tengah medan peperangan. Gagah berani melawan musuh
yang menyergap. Sigap melindungi kawannya yang terluka. Tegas dalam menerangkan
siasat kepada anak buahnya, agar dapat memenangkan pertempuran. Ekor matanya
selalu mengawasi pergerakan musuh diantara rimbunnya hutan. Sayang, Ia
terlambat menyadari seorang tentara musuh telah berdiri tepat dibelakangnya.
Dor! Suara tembakan kembali memecah keheningan malam yang beranjak subuh. Ia
mengerang, tetapi tak lama kemudian tersenyum. Meresapi setiap rasa sakit akan
peluru yang telah bersarang di kakinya. Ia tak gentar, dan tak akan pernah
gentar. Ia menembaki pemilik dari peluru yang mengenai kakinya itu. Ia tetap
maju di medan perang dengan berjalan sedikit terseok namun pasti. Ia bahkan tak
memberikan kesempatan kepada tentara musuh sampai berani mengarahkan moncong
senapan ke arahnya. Satu-persatu tentara musuh tumbang, menyisakan seorang lagi
tepat di depan tentara muda itu. Sedari tadi Ia telah membidiknya. Matanya
terpejam sembari menarik pelatuk senapan. “Merdeka!” Desahnya membuat semesta
alam seakan meng-amin-kan.
Sekarang
aku dapat melihat sosoknya dengan jelas dari tempatku bersembunyi. Tentara itu
berbadan tinggi tegap tanda ketegasannya. Mata birunya menatap tajam
meng-isyaratkan kecerdasan. Kulit putihnya bersemu merah tertimpa mentari pagi
yang baru bangkit dari pembaringannya. Peluh dan coreng-moreng tak menghapus
ketampanannya. Mungkin aku akan mengira Ia adalah tentara Belanda jika tak melihat bendera merah putih di
lengan kirinya, karena Ia terlihat seperti londo.
Aku melihat sebuah kotak hitam yang digendongnya. Tidak terlalu besar. Mungkin
itu adalah kotak senjata atau amunisi.
Matahari
mulai naik. Tak bosan-bosan Ia melintasi jalurnya yang sama entah sejak dari
kapan. Ia juga tak pernah membangkang, selalu patuh mengikuti perintah Tuhannya
dengan terus menerangi bumi sampai terompet sangkakala ditiupkan. Cahayanya
malu-malu menerobos rimbuhannya pepohonan. Berseri-seri menyinari satu kompi
tentara Indonesia yang sedang beristirahat dalam gerilyanya. Penduduk hutan
seakan ikut bahagia akan kemenangan tentara Indonesia dengan mendendangkan
nyanyian alam. Sungguh berbeda suasananya dibandingkan malam mencekam ketika pertempuran
berlangsung.
Tentara
muda itu menjauh dari prajurit yang lain. Ia telah membersihkan dan membebat
luka tembak di kakinya. Dan kemudian dengan perlahan Ia membuka kotak hitam
yang tidak pernah lepas dari punggungnya. Aku menahan napas. Mungkinkah itu
adalah senapan yang sangat hebat mengingat Ia juga prajurit yang hebat?
Isi
kotak itu sempurna sudah berada di tangan tentara muda itu. Jauh dari
perkiraanku, isi kotak itu adalah sebuah biola. Dengan perlahan Ia meletakkan
biola itu di bahu, bersiap memainkannya. Aku menahan napas kembali.
Nyanyian
kehidupan seolah hadir dalam gesekan biolanya. Tenang, indah, dan menyayat
hati. Teman-teman prajuritnya serentak duduk mengelilingi dia. Seolah
terhipnotis akan permainannya yang memukau. Begitu pula aku yang duduk menunduk di tempat persembunyianku.
Beberapa
saat kemudian Ia selesai memainkan sebuah lagu. Kemudian Ia letakkan kembali
biola itu dalam kotak hitamnya. Teman-temannya kembali mengerjakan pekerjaan
yang sebelumnya terabaikan demi mendengar tentara muda itu bermain biola. Aku
termenung. Untuk apa dia membawa biola ke medan gerilya? Bukankah sebuah
senapan saja sudah berat, tetapi Ia malah membawa biola. Apakah sebuah biola
dapat berguna di medan perang seperti ini? Sekilas aku melihatnya sedang
memandang ke arahku. Kami bertemu pandang. Aku dapat melihat nama yang tersemat
di bajunya. Ahmad Syam.
“Kamu
tau alasan Bapak membawa biola dalam gerilya?” Pertanyaan Pak Syam membuatku
tersadar dari lamunan. Aku cuma bisa menggeleng. Penasaran akan jawaban yang
akan diberikan beliau.
“Bapak
waktu berpikir jika Bapak membawa biola bisa menghibur teman-teman. Jika sedang
beristirahat pasti Bapak bermain biola di tengah-tengah yang lain. Kadang
sedang asik bermain tentara musuh datang menyerbu. Buru-buru memasukkan biola
ke kotaknya dan langsung siap bertempur lagi.” Kenang Pak Syam sambil
tersenyum. Aku mencoba membayangkan adegan itu. Sontak bulu kudukku meremang.
Membayangkan Pak Syam muda yang gagah berani membela Negara demi kemerdekaan
Indonesia. Demi kemerdekaan anak cucu seperti yang dapat aku kecap saat ini.
“Kamu harus
bersyukur bisa bermain biola dalam kebebasan, dapat belajar tanpa takut ada
penjajah yang mengintai. Tak seperti bapak yang harus bergerilya diantara hutan
belantara.” Pak Syam terkekeh dan seperti biasa aku hanya dapat tersenyum.
Meskipun
beliau dulu adalah tentara yang hebat, sampai sekarang pun beliau tetap
mengabdi kepada nusa dan bangsa dengan cara yang lain. Di umur beliau yang hampir
90 tahun, beliau mengajar. Semangatnya untuk membawa kami kepada kemerdekaan
tetap berkobar. Kemerdekaan atas kebodohan.
Terkadang
aku melihat sorot matanya meredup ketika memandang Indonesia kini.
Perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan seakan tak berarti di tengah carut-marutnya
Indonesia. Aku tak bisa membayangkan apa yang ada dipikirannya sekarang.
“Indonesia
telah merdeka dari penjajahan. Itu berarti tugas Bapak sebagai pejuang kemerdekaan
telah selesai. Sekarang tugas Bapak adalah mendidik kamu agar bisa menjadi
pejuang juga. Pejuang yang akan mebebaskan Indonesia dari korupsi, kesewenang-wenangan
penguasa, kemisikinan, dan banyak lagi. Semuanya ada di tangan generasi penerus
seperti kamu ini. Bapak yakin Indonesia dapat merdeka lagi.” Beliau memberikan
nasihat kepadaku sambil tersenyum. Aku mengangguk dan kemudian menundukkan
wajah. Tak kuasa menahan butiran bening yang satu-persatu jatuh dari pelupuk
mataku.